Lima

Akhirnya jeruk berwarna oranye harum itu aku kupas, teman setiaku selama lima hari ini. Kadang aromanya yang tenang menguar membuat wangi ujung dipan. Hari ini pun makanku sangat lahap. Dua mangkuk bubur, dua mangkuk nasi tongseng ayam. Lumayan buat penghibur perutku yang dari Sabtu delapan hari yang lalu terombang-ambing oleh cairan asam, menusuk dada kiri, ampun sesak sekali.

Jempol kiriku langsung menuju pada tengah kulit buahnya, robek… dan tampak buahnya berselimut putih. Kulahap tanpa membersihkan terlebih dahulu. Tidak pahit pelindungnya, namun buahnya juga tidak terlalu manis, cenderung amat wangi pertanda tingkat kematangan sudah melebihi puncaknya. Lahapan kedua mulai kubersihkan pelindungnya, sedikit tergesa mengunyahnya, mulai nyaman dengan rasanya. Satu bijinya pun tertelan, apakah esok akan tumbuh pohon jeruk di kepalaku?

Bakso Pak Cip!

Saya punya beberapa warung bakso langganan sejak kecil, salah satunya adalah Pak Cip. Warung ini berada di utara rumah saya, kalau jalan kaki ya sekitar enam menit. Dulu pernah pindah agak ke selatan sekarang balik ke tempat semula. Tepatnya di depan Seminari Tinggi Kentungan, bagian sebelah utara berseberangan dengan Panties Pizza Jalan Kaliurang km 7.

Di sini disuguhkan bakso sapi dengan kaldu yang nglendhi, berminyak pekat. Dengan tambahan balungan muda atau tetelan yang memikat. Kadang keduanya bertempur jadi satu namun juga kadang tersaji salah satunya, tergantung adanya. Nah yang jadi favorit di sini juga bumbu micinnya melimpah, seperti surga disambut seketika.

img_20200513_112058_hdr1894822803.jpg

Sampai empat tahun yang lalu di warung ini masih tersaji pangsit goreng yang memikat, dengan dalaman tetelan bercampur lemak, namun sekarang sudah tidak ada. Pak Cip sendiri beralasan bahwa sekarang dia belanja keperluan di pasar dekat warung, untuk memangkas waktu dan tenaga. Dulunya sewaktu tenaga masih prima dia belanja di pasar Beringharjo, nah di situ dia belanja bahan kulit pangsitnya juga. Sekarang di pasar dekat warung kurang komplit. Mau belanja ke selatan lagi kejauhan naik sepeda dan trauma karena pernah setelah belanja ditabrak motor.

img_20200513_113103_hdr-823278276.jpg

tetelan yang sudah diklocopi dari tulangnya

Jane kisah iki iso luwih asik lan menarik nek tak critakke ngene…hahaha keadaan pas de’e ditabrak ki malah marai ngekek. Pokok’e jajalen jajan neng kono, bakule ki asline saru yoan, cobo jak’en gojek. Nek iso pas ndono sik ngedoli Pak Cip dewe. rasane luwih ciamik, bumbune saaaaak soooook breeessss cul ra owel pokok’e. Oh ya ndek situ yang disediani acar sik enak, kecut-kecut menarik koyo kelek, enaklah pokok’e….ngoahahahaha…

Sak durung’e aku kakehan nganggo pokok’e pokok’e meneh, mending langsung cus dijajal. Buka awan kisaran jam sewelas awan nganti maghrib lah, kuwi ya nek durung entek. Saiki buka’e rodo tertib, mbiyen buka seminggu tutupe sewulan. “Pak kok iso buka bakso i piye je?” pertanyaanku karo Pak Cip. Jawab’e muk simpel, “Ha mbiyen ki yo muk tiru kancane, do dodolan bakso, aku njur melu.”

woalaaah asuuuuu…. Jajalen ya! 😀

 

img_20200513_113345_hdr113528343.jpg

Panjang Umur Para Peminum!

Di tengah kondisi yang kurang menentu ini ada tiga penghibur bagi diri saya: Obrolan yang hangat dengan teman, musik, dan alkohol. Jika salah satunya kurang, maka satunya melengkapi. Berjalan lurus, selurus penggaris besi 30 cm.

Jargon dari Stupid Again ini saya pakai untuk mengamini kondisi saat ini, beban serasa meyeruak ketika membuka mata, atau saat akan menutupnya. Pelampiasan adalah jawabannya. Obrolan ringan tentang sambatan pun terasa sangat berbotot dan menghibur, apalagi disambi dengan gojek kere dengan kawan. Sungguh sangat nikmat!

Musik? Ya jelas! Penambah detak kehidupan saat mulai layu, pemanis natural bagi jiwa-jiwa yang tawar.

Terakhir adalah alkohol. Barusan tadi saya dibawakan oleh kawan krenyes asal Madukismo, yang peredarannya sempat terhenti karena dipakai untuk bahan hand sanitizer. Murni dengan aroma keras yang menyengat dan berkobar api saat disulut. Patut untuk dinikmati dengan minuman manis penurun kadar aroma. Satu, dua, tiga kali teguk dan seterusnya dan seterusnya sebagai bahan bakar untuk penambah umur. Satu, dua, tiga kali teguk, obrolan lepas dengan irama pelepas beban.

Panjang umur para peminum!

wp-1589299843242-1354733611.jpg

Bois Action!

“Find me ride my 90 “74”, after drinking ciu in the central city. From Mandala to Jogja Plaza, I just put my life in destiny…”

Sepenggal lirik yang membuat saya jatuh cinta pertama kali dengan band Oi! satu ini.

Teringat saat kelas 2 SMA, ada siswa pindahan dari Trenggalek yang meminjamkan cdr kumpulan lagunya. Nah! di folder tersebut ada lagu DOM 65 ‘Me and The Kids’ dan ‘Shine On You Crazy Diamond’ cover dari Pink Floyd… perkenalan pertama saya dengan band ini.

Ini adalah album konseptual Oi! Street Punk yang tersusun rapi. Tiada jeda untuk track ‘The Furious of the Logic Dances’, ‘Entrance’ berlanjut ke ‘Bois Action’.

Sebuah album yang lebih rock n roll dari rock and roll itu sendiri. hehehe… Ruck n Raw!

Pas sekali untuk cuaca terik yang cerah dan udara kehidupan yang keras panas ini.

Kabarnya album ini akan dicetak ulang dengan format plat, tapi saya masih memimpikan album ini dirilis lagi dalam bentuk kaset.

“An arena for… bois action!!!”

(14 Mei 2015)

Dom 65

Oi! The Penalty

Tahun 2004 Realino Records merilis kompilasi ‘bab bal-balan’ dalam tajuk Oi! The Penalty. Ada tujuh band lokal dan satu band impor dari Italia.

Band-band di sini yang pasti mendukung klub yang mereka puja. Walaupun mencintai rival klub sekota, tetapi tembang “Fortuna” milik DOM 65 memang sungguh dahsyat! 😉

 

oi penalty

Soundtrack Kiamat.

Lagu apa yang akan anda putar jika tau bahwa besok kiamat?

Bagi saya ada beberapa lagu yang sangat mewakili. Lagu untuk pengiring kegetiran – penambah semangat untuk tidak bersemangat lagi. Lagu yang pas untuk diputar di pengeras suara dengan volume di arah jam sebelas. Lirih dan menyayat untuk pengiring suara sirene dan peluit panjang tanda pintu gerbang ditutup, kita lantas diwajibkan untuk berdiam diri menunggu dengan penuh kecemasan dan keringat dingin yang bias menggigil. Bingung akan berdoa dan pasrah menanti ajal.

Berikut ini beberapa lagunya yang terbersit di benak, tekan tombol play lalu terpejam.

Skeeter Davis – The End of the World
Pilihan yang paling utama, namun jika harus memilih nada saat I wake up in the morning and I wonder dihilangkan saja, sangat menyebalkan. Nyawa kegetiran hilang seketika.

The Carpenters – Yesterday Once More
Mendengarkan ini sambil berharap masih ada secercah harapan bahwa esok ternyata segala membaik, dan kiamat hanyalah candaan belaka. Enak dinikmati dengan hisapan rokok yang panjang, lamunan ketidakpastian, duduk bersandar di tembok, dan menyecap kopi yang sudah mulai basi sisa tadi pagi.

Laily Dimjathy – Bunga Flamboyan
Entah mengapa lagu ini selalu membawa nostaljik, terlempar ke masa lalu, melupakan masa sekarang dan tidak memikirkan tentang masa depan.

Tetty Kadi – Layu Sebelum Berkembang
“Hatiku hancur mengenang dikau…” dan berlanjut sampai usai, tidak usah digambarkan namun dinikmati saja.

Ernie Djohan – Kau Selalu Di Hatiku
Harapan semoga esok tidak pernah terjadi, kebahagiaan dengan nada getir

Ernie Djohan – Sendja Di Batas Kota
Gelap dan tidak pernah bisa beranjak, Hidupku akan bahagia… Hidupku akan bahagia…

Lilis Suryani dan Band Arulan – S/T
Satu album sebagai penambah waktu di masa injury time, siapa tau peluit panjang lupa ditiup. Track kedua di sisi dua berjudul Tjurahan Hati akan menjelaskan segalanya, penghiburku hanya lagu…

 

ernie

 

Gagap Teknologi.

Karena urgensi dan belum sampai rumah, semalam saya menulis blog menggunakan laptop warung. Laptop yang dahulu menjadi teman setia sewaktu kerja di Jakarta. Tapi sekarang nasibnya miris, jobdesk-nya hanya berkutat untuk memutar lagu-lagu pilihan saya di warung. Walau kebanyakan musik yang tersaji adalah musik tenang mengantukkan.

Nah baru kemarin setelah mungkin hampir lima tahun, laptop ini saya pakai bukai ngetik blog. Tombol bawahnya sudah tidak berfungsi, tomboll huruf L pun sangat sensitif, dipencet sekali kadang yang tersaji bisa dua kali lipatnya atau lebih. Perlakuan halus lembut pun harus disematkan padanya.

Karena pesanan di warung semalam dan jadwal tutup yang mundur, akhirnya terbersit untuk memakai laptop ini. Mumpung juga sedang menggebu.

Sudah lumayan beberapa kata saya sematkan di lembaran wordpress ini, eh tiba-tiba kok berubah. Kata-perkata itu keblok semua dan berubah bahasa, menjadi Inggris.

“Saya akan tampil di Stadion London Inggris, saya akan tampil di Stadion London Inggris seperti ini!” (intermezzo dari Gus Javar).

Waladalah! Ternyata mouse kotak di laptop ini juga sangat sensitif, suka terantuk oleh pangkal telapak tangan yang membuat poin tulis pindah, dari sini ke sini terus ke sini dan sini….

IMG_20200507_221836-2.jpg

Panik, akhrinya ketemu dong pangkal permasalahannya, ada kolom kecil google translate muncul yang kepencet. Nah saya coba pencet lagi pindah bahasa, berhasilL! Karena penasaran saya rubah lagi dan tanpa sengaja ketutup… Modyaaarrr! Balik meneh ke basa enggresss. Pencet tombol back, trus refresh assss malah ilang, forward, berhasil balik lagi masih ke basa enggres. Menyesall saya menulis langsung menggunakan wordpress. Akhirnya saya copy ke googlle transllate, langsung diartikan.

Copy ke microsoft word, ngulang nulis lagi, sak ududan, jangan lupa save karena takut kejadian serupa, tapi jika iya autosave bekerja. Tulisan jadi, copy lagi ke wordpress, terus tulisan tayang, wetenge njur ngelih banget. Ternyata saya itu semakin tambah usia semakin gagap teknologi’e rupanya. Hahaha…

nb: Eh sapatau ada yang punya solusi buat masalah saya. Yang mengenai translate-translate itu 🙂

 

Dilema Uang Baru.

Siang tadi setelah semuanya beres di warung, saya seperti biasa leha-leha duduk di kasir sembari menunggu pengunjung datang. Telepon pun berdering dari Si Trex, teman saya di kampung yang sekarang jadi keamanan kompleks

“Buooosss babi kecap’e ono ra?”

“Wah ra ono nek babi kecap, onone sate goreng opo losiobak. Kuwi bumbune yo nganggo kecap tapi proses masak’e bedo.” Jawab saya.

Dari belakang suara Si Trex sayup-sayup terdengar suara lelaki “Wah opo yo? Sate goreng wae bro.”

Si Trex pun mengulangi kata-kata lelaki itu, “Sidone sate goreng bos, nganggo sego. Iki Catur sik mesen. Mengko terke neng pos yo?”

“Owkay!” Jawab saya mantap.

Setelah itu saya menerima pesanan dari tetangga depan rumah dan lalu untuk mengirimkannya ke alamat yang dituju mengunakan ojek online. Ini juga beres.

Pesanan Catur sudah jadi, saya lalu mengirimnya ke pos.

“Total’e piro bro?” tanya Catur

“Nemlikur ewu.”

Dia lalu mengulungkan uang tiga puluh ribu. Kata saya pada Catur, “Suwun yo, susuk’e ngko sik tak jimukke sisan meh garap pesenan sik.”

“Oke…” Catur dan Si Trex membalas dengan kompak.

Pesanan dari tetangga depan rumah sudah aman dan telah diambil oleh tukang ojek. Saya pun akhirnya kembali ke pos dengan membawa kembalian uang empat ribu lalu ngobrol dengan mereka.

Di sela percakapan, saya membuka hape dan ngecek grup whatsapp. Ada yang ngirim tabel zona merah corona. Lantas saya memperlihatkan ke teman-teman.”Ki bro, bul gon’ne dewe ki zona merah yo.”

IMG-20200507-WA0005.jpg

Catur pun menyaut, “Nek Wedomartani ki cen zona merah mergo wingi perumahan Kanisius keno.”

“Ooo, kok gon’e dewe mlebu yo, opo mergo cedak daerah sik berdampak?” tanya saya.

“Ha gon’ne dewe ki ket mbiyen cen zona merah to?” Catur pun kembali menimpali.

Si Trex pun bertanya, saya pun juga bingung “Kok iso?”

“Ha kan zona PDI.”

Kami pun kemudian tertawa. Tertawa ampang…hahaha

Percakapan berlanjut dengan isian yang kebanyakan tentang sambat kondisi sekarang ini, lalu saya pulang karena adik saya kerepotan di warung.

 

 

Sekitar pukul tiga saya pun nge-whatsapp Jangkrik. Mau berencana ke rumahnya, gitaran dan ngobrol ngalor-ngidul berusaha menghibur diri masing-masing. Karena Bapak saya telah pulang dari berpetualang dan adik saya ada temannya, saya pun tancap gas.

Kopi sachetan telah tersaji dan rokok lintingan menemani teng-teng crit hingga maghrib. Karena keasyikan ngobrol saya baru ngecek hape, sudah ada pesan masuk melalui dm twitter. Teman saya ingin memesan panggang asin seperti di foto yang saya posting beberapa waktu lalu di twitter. Lanjut pulang dan menyiapkan pesanan. Otomatis karen tadi saya tinggal, kasir lantas diampu oleh Bapak saya. Setelah meladeni pelanggan terakhir dan pesanan online last minute berjumlah banyak warung pun akhirnya saya tutup. Sedikit molor tapi lumayan dapat tambahan pemasukan.

Tiba saatnya saya menghitung hasil hari ini. Orek-orek nota sudah, uang di laci kasir telah beres, saat menghitung uang di dompet. Uang di dompet ini biasanya untuk ngijolke susukan, isinya beragam pecahan, dari seribu hingga seratus ribu. Eeeeeeh kok ada yang janggal. Uang bendel ribuan baru kok berpindah posisi. Ini pasti udah kepakai.

Oh ya beberapa bulan lalu saat ada mobil BI standby di pintu masuk pasar saya lantas bertanya ke tukang parkir langganan. “Kui mobil Bank Indonesia kui nek ndene kerep ra to lik?”

Jawab tukang parkir, “ra mesti yo kui, rung karuan rong sasi pisan.”

Saya pun langsung bergegas ikut antri. Antrian dibatasi, saya mendapatkan urutan terakhir sebelum jadwal tukar uang ditutup. Dua lagi giliran saya, eh tiba-tiba ada yang nyelonong di depan saya dan langsung nuker uang. Waaaaah jiaaaan!

Giliran saya tiba, saya pun menukar uang seratus ribu dengan seribuan. Wah aroma duit anyir grisss ki cen menarik kok. Saya hanya menukarkan itu, karena pecahan lainnya bisa mudah didapatkan di toko kelontong langganan, nah teruntuk seribu itu susahnya minta ampun. Jadi ya hanya itu saja yang tertukar.

Sampai hari ini, yang mungkin hampir tiga bulan uang itu tidak pernah saya owah-owah. Sayang. Mau untuk kembalian kok kalau uang baru yang masih mbeler itu saya banget. Semuanya masih rapi dan sampai punya pikiran untuk dikoleksi. Saya pun belum ngecek nomer serinya, sukur-sukur dapet seri yang cantik. Bagi kolektor harganya lumayan mahal. Rasanya pokok’e sayang, tapi untuk ngecek nomer serinya lupa. Eh kok ini karena saya tinggal susunannya owah, yang berarti tiga lembar hilang dari urutan. Tiga lembar itu apakah mungkin salah satunya berseri cantik, karena kok ya uang yang saya foto ini mendekati… Walaaaaaah ra sido entuk duit akeh ki!

Bioskop.

3

Sampailah mereka di gedung bioskop yang berada tepat di pusat kota. Sebuah gedung bergaya jengki dengan cat putih yang masih baru hasil dari peremajaan sebulan lalu.

Biasanya saat akhir pekan gedung ini sangat ramai, tidak hanya oleh muda-mudi, tetapi juga para tua dan anak-anak. Tujuan orang-orang ke situ tidak hanya untuk menonton film tapi ada juga yang sekadar nongkrong atau menikmati sajian dari penjaja makanan di samping bioskop tersebut. Tapi kali ini suasana tergolong sepi, hanya ada beberapa remaja yang mengantri karcis di loket dan beberapa orang di luar Gedung.

“Bioskopnya kok rada sepi ya Han, tidak seperti malem minggu biasa?”

“Mungkin karena tanggal tua Yat. Kamu tau sendiri to, sekarang tanggal’e mingklik-mingklik.”

“Oiyoooo…” balas Kiyat dengan mulut menganga.

Bagi sebagian orang akhir bulan memang tanggal tua, tapi bagi mereka berdua tidak ada istilah tersebut. Mereka berdua mendapatkan upah seminggu sekali, biasanya rutin di hari Sabtu. Upah hasil dari membantu orang tua mereka di pasar.

 

 

 

Film sudah berjalan setengahnya saat Han bosan dan memutuskan ke luar.

“Mau ke mana kau Han?” tanya Kiyat dengan mata tidak lepas dari layar.

“Meh kencing ini lho…”

Ia pun berjalan ringan menuju ke samping gedung. Lalu mengeluarkan bungkus rokok dari balik jaketnya. Aroma wangi pun membumbung di udara, ia pun menyandarkan tubuhnya pada tembok dengan sebelah kaki bertumpu. Hisapan kedua meluncur dengan deras di rongga tenggorokan, lalu ke luar melalui hidung dalam satu hembusan yang pelan. Keadaan pun menjadi tenang dan lengang di benaknya. Ia pun mengitari sekitar dengan pandangan matanya, sepi. Batang kedua pun berlanjut ditemani lamunan saat tiba-tiba ada jeritan dari arah samping belakang gedung, tepatnya di jalan kecil dengan penerangan redup.

“Lepaskan!” terdengar suara perempuan dengan nada marah bercampur ketakutan.

Han pun lalu membuang kenikmatannya lalu bergegas lari ke arah suara tersebut.

“Hei sedang apa kalian?” sergah Han.

Terlihat sosok empat laki-laki sedang mengelilingi perempuan yang sudah terpojok di sudut tembok.

Aaaaaah kowe rasah melu-melu!” jawab salah satu lelaki yang langsung memburu ke arah Han.

Pukulan lelaki itu melesat. Han pun dengan cepat menghindar, di sambut dengan pukulan kedua yang tak berjeda. Refleksnya bekerja dengan cepat. Saat Han ingin melayangkan tinjunya, tiba-tiba segalanya menjadi gelap. Ia pun tersungkur, teman pria itu memukul Han dengan balok kayu dari belakang. Tidak sampai lama Han mencium tanah, ia pun bangkit dengan terhuyung. Para lelaki itu lalu menuju Han dengan keroyokan. Lelaki yang bertubuh ceking dengan balok di tangannya mengayunkannya ke kepala Han. Dari belakang sisi kiri kepalanya, Han merasakan lesatan angin yang dahsyat. Lelaki ceking itu sudah terkapar di depannya. Terperangahlah Han, begitu juga dengan tiga lelaki lainnya. Salah satu yang berbadan lumayan besar lalu berlari ke kiri Han. Han pun lalu mengikutinya dengan pandangan matanya. Belum sempat lelaki itu memukul, lesatan tinju sudah membuatnya tersungkur, hampir tidak telihat. Kedua lelaki sisanya lalu saling pandang dan tergopoh meminta welas kepada orang yang melayangkan tinju tersebut.

Kedua lelaki itu lalu membantu membangunkan temannya dan membawanya menjauh sampai tak telihat. Orang yang melayangkan tinju tersebut berpesan kepada gerombolan tadi sebelum beranjak supaya jangan memperlihatkan batang hidung di depannya lagi. Ia pun lalu tertawa tidak kuat menahan akting kereng yang dibuat-dibuat.

“Kau tidak apa-apa bung?” tanya lelaki itu pada Han.

“Tidak bung, hanya sedikit pening.”

“Kurang ajar mereka itu, pengecut! Beraninya keroyokan.”

Perempuan tadi lalu mendekat dengan Langkah sedikit terguncang.

Han yang melihat perempuan itu mendekat lalu melontarkan pertanyaan yang sama, seperti saat ia ditanyai kondisinya oleh lelaki tersebut.

Perempuan itu lalu menjawab dengan nada terbata, “Aku ndak apa-apa kok mas Wawan.”

“Oh baik kalau begitu… Eh dirimu kok tau namaku to mbak?” tanya Han.

“Ya tau to mas, kan sering ketemu di pasar.”

“Eh?” balas Han dengan heran

“Iyo mas, aku Santi putrine Yu Genuk yang jualan roti itu.”

“Oalah ya ya ya…” sambil Han berujar di dalam hati, Ooo dadi iki to sik diomongkke Kiyat mau awan.

Tenan to ga apa-apa?” tanya Han lagi berusaha meyakinkan.

“Iyo mas demi Allah.” Jawab Santi

Han lalu mengarah ke lelaki tadi yang membantunya. Ia lalu menawarkan rokok sebagai ucapan terima kasih, namun ditolaknya dengan halus oleh lelaki tersebut. “Sori aku nggak ngerokok.” Dengan senyuman tulus tersungging di wajahnya. Han lalu menyalakan rokok lalu dihisapnya sedalam samudera hingga sedikit sengal di dadanya. Ia lalu melontarkan pertanyaan ke lelaki tersebut, “Oh ya njenengan Namanya siapa?”

“Eh lali sampai belum kenalan, namaku Frans.” Jawab pria itu dengan ramah sambil mengulurkan tangan kanannya.

“Aku Han, biasanya dipanggil Wawan. Oh ya makasih ya Frans.” Ujar Han

Santai wae, pokok’e well…”

Setelah perkenalan ketiganya dan sedikit berbincang, Frans lalu pamit undur diri, ia lalu mengarah ke parkiran dan memacu motor trilnya dengan deras.

Penonton pun berhamburan ke luar gedung bioskop, ada satu orang yang ke luar namun clingak-clinguk tidak tenang. Mata dan langkahnya sedang mencari sahabatnya. “Oalah Han ki malah ke mana to?” ujar Kiyat dalam hati, ia lalu mengarah ke sisi kanan gedung bioskop dan menemukan sahabatnya tersebut sedang menikmati ronde sembari ngobrol bersama seorang perempuan.

“Ealaaaah malah enak-enak di sini wedangan, kau itu aku cari lho Han.”

Han lalu berujar, “Biar kowe ki khusyuk nonton filmnya Yat. Ngantuk’e aku malahan tadi.”

“Ealah tadi tu film’e masterpiece lho Han, filmnya Teguh Karya… Aaaaah kau ini jiaaaaan!” balas kiat dengan nada sebal.

Pandangan Kiyat lalu menuju ke perempuan di sebelah Han, kagetlah ia, “Weladalah kok ada Santi, eh lho, eh lho… Kok bisa dikau dengan Santi.” Ujarnya terperangah.

“Tadi aku ditolongin mas Wawan mas.” Kata Santi dengan keceriaan yang mengembang karena percakapan dengan Han setelah insiden tadi.

“Oh kok bisa, ceritain dong?” rengek Kiyat penasaran.

“Ah sudah-sudah, nanti saja di jalan. Kita harus segera pulang. Soalnya besok aku ada tugas ngeterke pesanan ke beberapa tempat. Oh ya San, pulangnya bareng aja, searah kan kita?” ajak Han.

“Iya mas, makasih banyak ya.” Ujar Santi

Kiyat pun nimbrung, “San, rumahmu tu Penumping to ya, deket sama rumah’e Daru?

“Iya mas Yat, kacek tiga rumah.”

“Ooo… Daru kawan kita SD dulu itu Han, sik jago main bola.”

“He-emm…” jawab Han sambil manggut-manggut.

“Anu… Pokoknya nanti aku diceritain lho ini kok kalian tiba-tiba makjegagik barengan. Oh ya Han sampai lupa, supaya perjalanan kita ndak membosankan dan sembari mendengarkan kisah kalian berdua ada baiknya jika kau mengeluarkan obat gantengmu itu.”

“Lambemu Yat!”

Kiyat pun tersenyum kecut, Santi pun tertawa. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke utara, kadang bercampur gelak tawa di jeda percakapannya.

Sedari tadi di gedung bioskop tersebut, ada sesosok pria yang mengamati gerak-gerik mereka dengan seksama, dan mereka pun sama sekali tidak menyadarinya.

Sorry, I Don’t Smoke

Riyan Kresnandi, 2020

Kulminasi.

Menjilat-jilat bagai matahari

Menyeka keringat yang deras di pipi

Lidah terhisap, mata pun terkunci

Bergerak bebas nafas senggal berbunyi

 

Jarum jam berdetak seakan melambat

Pacu pun berderak ke arah semakin kuat

Hingga terasa lemas yang hebat

Jarak antara libas jadi dekat