Bioskop.

3

Sampailah mereka di gedung bioskop yang berada tepat di pusat kota. Sebuah gedung bergaya jengki dengan cat putih yang masih baru hasil dari peremajaan sebulan lalu.

Biasanya saat akhir pekan gedung ini sangat ramai, tidak hanya oleh muda-mudi, tetapi juga para tua dan anak-anak. Tujuan orang-orang ke situ tidak hanya untuk menonton film tapi ada juga yang sekadar nongkrong atau menikmati sajian dari penjaja makanan di samping bioskop tersebut. Tapi kali ini suasana tergolong sepi, hanya ada beberapa remaja yang mengantri karcis di loket dan beberapa orang di luar Gedung.

“Bioskopnya kok rada sepi ya Han, tidak seperti malem minggu biasa?”

“Mungkin karena tanggal tua Yat. Kamu tau sendiri to, sekarang tanggal’e mingklik-mingklik.”

“Oiyoooo…” balas Kiyat dengan mulut menganga.

Bagi sebagian orang akhir bulan memang tanggal tua, tapi bagi mereka berdua tidak ada istilah tersebut. Mereka berdua mendapatkan upah seminggu sekali, biasanya rutin di hari Sabtu. Upah hasil dari membantu orang tua mereka di pasar.

 

 

 

Film sudah berjalan setengahnya saat Han bosan dan memutuskan ke luar.

“Mau ke mana kau Han?” tanya Kiyat dengan mata tidak lepas dari layar.

“Meh kencing ini lho…”

Ia pun berjalan ringan menuju ke samping gedung. Lalu mengeluarkan bungkus rokok dari balik jaketnya. Aroma wangi pun membumbung di udara, ia pun menyandarkan tubuhnya pada tembok dengan sebelah kaki bertumpu. Hisapan kedua meluncur dengan deras di rongga tenggorokan, lalu ke luar melalui hidung dalam satu hembusan yang pelan. Keadaan pun menjadi tenang dan lengang di benaknya. Ia pun mengitari sekitar dengan pandangan matanya, sepi. Batang kedua pun berlanjut ditemani lamunan saat tiba-tiba ada jeritan dari arah samping belakang gedung, tepatnya di jalan kecil dengan penerangan redup.

“Lepaskan!” terdengar suara perempuan dengan nada marah bercampur ketakutan.

Han pun lalu membuang kenikmatannya lalu bergegas lari ke arah suara tersebut.

“Hei sedang apa kalian?” sergah Han.

Terlihat sosok empat laki-laki sedang mengelilingi perempuan yang sudah terpojok di sudut tembok.

Aaaaaah kowe rasah melu-melu!” jawab salah satu lelaki yang langsung memburu ke arah Han.

Pukulan lelaki itu melesat. Han pun dengan cepat menghindar, di sambut dengan pukulan kedua yang tak berjeda. Refleksnya bekerja dengan cepat. Saat Han ingin melayangkan tinjunya, tiba-tiba segalanya menjadi gelap. Ia pun tersungkur, teman pria itu memukul Han dengan balok kayu dari belakang. Tidak sampai lama Han mencium tanah, ia pun bangkit dengan terhuyung. Para lelaki itu lalu menuju Han dengan keroyokan. Lelaki yang bertubuh ceking dengan balok di tangannya mengayunkannya ke kepala Han. Dari belakang sisi kiri kepalanya, Han merasakan lesatan angin yang dahsyat. Lelaki ceking itu sudah terkapar di depannya. Terperangahlah Han, begitu juga dengan tiga lelaki lainnya. Salah satu yang berbadan lumayan besar lalu berlari ke kiri Han. Han pun lalu mengikutinya dengan pandangan matanya. Belum sempat lelaki itu memukul, lesatan tinju sudah membuatnya tersungkur, hampir tidak telihat. Kedua lelaki sisanya lalu saling pandang dan tergopoh meminta welas kepada orang yang melayangkan tinju tersebut.

Kedua lelaki itu lalu membantu membangunkan temannya dan membawanya menjauh sampai tak telihat. Orang yang melayangkan tinju tersebut berpesan kepada gerombolan tadi sebelum beranjak supaya jangan memperlihatkan batang hidung di depannya lagi. Ia pun lalu tertawa tidak kuat menahan akting kereng yang dibuat-dibuat.

“Kau tidak apa-apa bung?” tanya lelaki itu pada Han.

“Tidak bung, hanya sedikit pening.”

“Kurang ajar mereka itu, pengecut! Beraninya keroyokan.”

Perempuan tadi lalu mendekat dengan Langkah sedikit terguncang.

Han yang melihat perempuan itu mendekat lalu melontarkan pertanyaan yang sama, seperti saat ia ditanyai kondisinya oleh lelaki tersebut.

Perempuan itu lalu menjawab dengan nada terbata, “Aku ndak apa-apa kok mas Wawan.”

“Oh baik kalau begitu… Eh dirimu kok tau namaku to mbak?” tanya Han.

“Ya tau to mas, kan sering ketemu di pasar.”

“Eh?” balas Han dengan heran

“Iyo mas, aku Santi putrine Yu Genuk yang jualan roti itu.”

“Oalah ya ya ya…” sambil Han berujar di dalam hati, Ooo dadi iki to sik diomongkke Kiyat mau awan.

Tenan to ga apa-apa?” tanya Han lagi berusaha meyakinkan.

“Iyo mas demi Allah.” Jawab Santi

Han lalu mengarah ke lelaki tadi yang membantunya. Ia lalu menawarkan rokok sebagai ucapan terima kasih, namun ditolaknya dengan halus oleh lelaki tersebut. “Sori aku nggak ngerokok.” Dengan senyuman tulus tersungging di wajahnya. Han lalu menyalakan rokok lalu dihisapnya sedalam samudera hingga sedikit sengal di dadanya. Ia lalu melontarkan pertanyaan ke lelaki tersebut, “Oh ya njenengan Namanya siapa?”

“Eh lali sampai belum kenalan, namaku Frans.” Jawab pria itu dengan ramah sambil mengulurkan tangan kanannya.

“Aku Han, biasanya dipanggil Wawan. Oh ya makasih ya Frans.” Ujar Han

Santai wae, pokok’e well…”

Setelah perkenalan ketiganya dan sedikit berbincang, Frans lalu pamit undur diri, ia lalu mengarah ke parkiran dan memacu motor trilnya dengan deras.

Penonton pun berhamburan ke luar gedung bioskop, ada satu orang yang ke luar namun clingak-clinguk tidak tenang. Mata dan langkahnya sedang mencari sahabatnya. “Oalah Han ki malah ke mana to?” ujar Kiyat dalam hati, ia lalu mengarah ke sisi kanan gedung bioskop dan menemukan sahabatnya tersebut sedang menikmati ronde sembari ngobrol bersama seorang perempuan.

“Ealaaaah malah enak-enak di sini wedangan, kau itu aku cari lho Han.”

Han lalu berujar, “Biar kowe ki khusyuk nonton filmnya Yat. Ngantuk’e aku malahan tadi.”

“Ealah tadi tu film’e masterpiece lho Han, filmnya Teguh Karya… Aaaaah kau ini jiaaaaan!” balas kiat dengan nada sebal.

Pandangan Kiyat lalu menuju ke perempuan di sebelah Han, kagetlah ia, “Weladalah kok ada Santi, eh lho, eh lho… Kok bisa dikau dengan Santi.” Ujarnya terperangah.

“Tadi aku ditolongin mas Wawan mas.” Kata Santi dengan keceriaan yang mengembang karena percakapan dengan Han setelah insiden tadi.

“Oh kok bisa, ceritain dong?” rengek Kiyat penasaran.

“Ah sudah-sudah, nanti saja di jalan. Kita harus segera pulang. Soalnya besok aku ada tugas ngeterke pesanan ke beberapa tempat. Oh ya San, pulangnya bareng aja, searah kan kita?” ajak Han.

“Iya mas, makasih banyak ya.” Ujar Santi

Kiyat pun nimbrung, “San, rumahmu tu Penumping to ya, deket sama rumah’e Daru?

“Iya mas Yat, kacek tiga rumah.”

“Ooo… Daru kawan kita SD dulu itu Han, sik jago main bola.”

“He-emm…” jawab Han sambil manggut-manggut.

“Anu… Pokoknya nanti aku diceritain lho ini kok kalian tiba-tiba makjegagik barengan. Oh ya Han sampai lupa, supaya perjalanan kita ndak membosankan dan sembari mendengarkan kisah kalian berdua ada baiknya jika kau mengeluarkan obat gantengmu itu.”

“Lambemu Yat!”

Kiyat pun tersenyum kecut, Santi pun tertawa. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke utara, kadang bercampur gelak tawa di jeda percakapannya.

Sedari tadi di gedung bioskop tersebut, ada sesosok pria yang mengamati gerak-gerik mereka dengan seksama, dan mereka pun sama sekali tidak menyadarinya.

Sorry, I Don’t Smoke

Riyan Kresnandi, 2020

Kiyat dan Han.

2

Pukul delapan lewat beberapa menit. Bagi pasar waktu tersebut sudah terlalu siang, intensitas jual-beli juga telah mengendur. Han sedang duduk diundakan-undakan kelenteng depan pasar bersama dengan Kiyat. Ia pun lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jaketnya, seketika itu juga mata Kiyat menyala bahagia, “Bagi rokoknya dong Han, mosok sahabatmu ini kau biarkan mulutnya kecut.”

“Ha mbok gula dagangan bapakmu itu tok untuk kemu rak yo manis.”

“Woalah Han kau ini, Sukanya bercanda.”

“Nih, mbok ya modal dikit to yo, dari dulu kok ya udud mesti minta.”

Kiyat pun meraih bungkus rokok tersebut beserta korek apinya.

“Gini kan enak ngobrolnya Han, ga spaneng.”

“Aaaash rupamu!”

“Gimana Han, ganteng kan?”

“Asu!”

Ketawa keduanya pun menggelegar.

Han dan Kiyat adalah sahabat sedari kecil. Bagaimana tidak, rumah mereka satu komplek dekat pasar. Orang tua mereka juga jualan berdempetan di pasar, Ayah dan Ibu Han membuka toko kelontong. Sedangkan ayah Kiyat jualan gula dan beragam bumbu dapur, sementara Ibunya membuka warung bakmoy di rumah. Bahkan usia mereka hanya selisih tiga puluh sembilan hari.

“Eh Han, anak Yu Genuk yang jualan roti ini manis ya?

Han hanya terdiam sembari menghisap rokok dengan dalam lalu menghembuskannya, asapnya membumbung ke angkasa.

“Sekarang sering kelihatan di pasar nek pagi, mbantuin Yu Genuk siap-siap buka toko. Manis ya Han ya?”

Mata Han menerawang ke awan dengan sinar mataharinya yang mulai terik, sesekali ia mengeluarkan asap berbentuk O dari mulutnya.

“Wolaaah celeng! Kau ini ku ajak omong malah ngalamun!”

“Hah, piye Yat?”

“Asssh mbuhlah!”

“Hahahahaha…”

“Yo wis, nanti jadi to Han nonton? Mumpung malem minggu ini.”

“Gampang, yang penting sekarang kita pulang dulu. Aku selak pengen mandi ki, gerah tenan.”

“Oke Han! pas banget, eh nanti nonton apa ya?

“Manut kamu wae.”

Rokok pun hampir menyentuh filternya, Han lalu mematikan bara dengan alas sepatunya. Mereka lalu bergegas pulang.

“Han jangan pulang larut malam lho, besok bantuin Babah di pasar nganterin pesanan ya.”

“Beres Mah!”

Han lalu menghampiri Kiyat yang sudah berdandan necis dengan setelan jas kedodoran milik ayahnya.

“Gimana Han, penampilanku. Kau pasti terkesima?”

“Yoooooh… opo yo ndak sumuk!”

Mereka lalu berjalan ke arah selatan, menyeberangi perempatan tugu. Kiri dan kanan jalan yang mereka lalui banyak terdapat bangunan toko berdinding kokoh bercat dominan warna putih. Jalan mereka terhenti sejenak tatkala kereta api berjalan menyela.

“Han, biasa obat ganteng dong?”

“Obat ganteng opo?”

“Itu lho yang kau sembunyikan di balik jaket lusuhmu.”

“Oalah Yat, Yat, mbok bilang aja kalo minta rokok.”

“Yaaaa itu.” Kiyat pun cengar-cengir. Lantas ia pun menyalakan rokok sembari lanjut berkata, “Han, kau belum pernah kan ngerokok rokok koboi? Omku pernah membawakan dari luar negeri. Rokokmu ini tidak ada apa-apanya. Rasanya gurih sekali Han…”

“Woalah Yat, kamu itu muk omong tok! Giliran ada oleh-oleh dari Om-mu mana pernah aku tok kasih. Wis ngono ngatain rokokku ga enak lagi. Wong ya kamu tu hobine muk njaluk.”

“Heeee… bukan begitu Han. Sewaktu itu aku ingin ngasih kau Han, tapi apadaya akupun hanya ngerokok satu batang. Itupun ngambil diam-diam dari Babahku sewaktu dia tidur. Mana mungkin Omku ngasih langsung ke aku Han. Eh omong-omong nanti minta lagi ya obat gantengnya hehe…?”

“Lambemu!”

My Last Cigarette

Riyan Kresnandi, 2020