Kiyat dan Han.

2

Pukul delapan lewat beberapa menit. Bagi pasar waktu tersebut sudah terlalu siang, intensitas jual-beli juga telah mengendur. Han sedang duduk diundakan-undakan kelenteng depan pasar bersama dengan Kiyat. Ia pun lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jaketnya, seketika itu juga mata Kiyat menyala bahagia, “Bagi rokoknya dong Han, mosok sahabatmu ini kau biarkan mulutnya kecut.”

“Ha mbok gula dagangan bapakmu itu tok untuk kemu rak yo manis.”

“Woalah Han kau ini, Sukanya bercanda.”

“Nih, mbok ya modal dikit to yo, dari dulu kok ya udud mesti minta.”

Kiyat pun meraih bungkus rokok tersebut beserta korek apinya.

“Gini kan enak ngobrolnya Han, ga spaneng.”

“Aaaash rupamu!”

“Gimana Han, ganteng kan?”

“Asu!”

Ketawa keduanya pun menggelegar.

Han dan Kiyat adalah sahabat sedari kecil. Bagaimana tidak, rumah mereka satu komplek dekat pasar. Orang tua mereka juga jualan berdempetan di pasar, Ayah dan Ibu Han membuka toko kelontong. Sedangkan ayah Kiyat jualan gula dan beragam bumbu dapur, sementara Ibunya membuka warung bakmoy di rumah. Bahkan usia mereka hanya selisih tiga puluh sembilan hari.

“Eh Han, anak Yu Genuk yang jualan roti ini manis ya?

Han hanya terdiam sembari menghisap rokok dengan dalam lalu menghembuskannya, asapnya membumbung ke angkasa.

“Sekarang sering kelihatan di pasar nek pagi, mbantuin Yu Genuk siap-siap buka toko. Manis ya Han ya?”

Mata Han menerawang ke awan dengan sinar mataharinya yang mulai terik, sesekali ia mengeluarkan asap berbentuk O dari mulutnya.

“Wolaaah celeng! Kau ini ku ajak omong malah ngalamun!”

“Hah, piye Yat?”

“Asssh mbuhlah!”

“Hahahahaha…”

“Yo wis, nanti jadi to Han nonton? Mumpung malem minggu ini.”

“Gampang, yang penting sekarang kita pulang dulu. Aku selak pengen mandi ki, gerah tenan.”

“Oke Han! pas banget, eh nanti nonton apa ya?

“Manut kamu wae.”

Rokok pun hampir menyentuh filternya, Han lalu mematikan bara dengan alas sepatunya. Mereka lalu bergegas pulang.

“Han jangan pulang larut malam lho, besok bantuin Babah di pasar nganterin pesanan ya.”

“Beres Mah!”

Han lalu menghampiri Kiyat yang sudah berdandan necis dengan setelan jas kedodoran milik ayahnya.

“Gimana Han, penampilanku. Kau pasti terkesima?”

“Yoooooh… opo yo ndak sumuk!”

Mereka lalu berjalan ke arah selatan, menyeberangi perempatan tugu. Kiri dan kanan jalan yang mereka lalui banyak terdapat bangunan toko berdinding kokoh bercat dominan warna putih. Jalan mereka terhenti sejenak tatkala kereta api berjalan menyela.

“Han, biasa obat ganteng dong?”

“Obat ganteng opo?”

“Itu lho yang kau sembunyikan di balik jaket lusuhmu.”

“Oalah Yat, Yat, mbok bilang aja kalo minta rokok.”

“Yaaaa itu.” Kiyat pun cengar-cengir. Lantas ia pun menyalakan rokok sembari lanjut berkata, “Han, kau belum pernah kan ngerokok rokok koboi? Omku pernah membawakan dari luar negeri. Rokokmu ini tidak ada apa-apanya. Rasanya gurih sekali Han…”

“Woalah Yat, kamu itu muk omong tok! Giliran ada oleh-oleh dari Om-mu mana pernah aku tok kasih. Wis ngono ngatain rokokku ga enak lagi. Wong ya kamu tu hobine muk njaluk.”

“Heeee… bukan begitu Han. Sewaktu itu aku ingin ngasih kau Han, tapi apadaya akupun hanya ngerokok satu batang. Itupun ngambil diam-diam dari Babahku sewaktu dia tidur. Mana mungkin Omku ngasih langsung ke aku Han. Eh omong-omong nanti minta lagi ya obat gantengnya hehe…?”

“Lambemu!”

My Last Cigarette

Riyan Kresnandi, 2020