Anjangsana!

Revisi skripsi sudah saya kerjakan, nge-print berpuluh – puluh lembar lagi, membuang beberapa kertas lagi. Lalu lanjut mengumpulkan tumpukan kertas tersebut di loker dosen pembimbing saya, niat hati ingin sekalian bertemu tapi apa daya bersua pun tidak. Jam tiga sore sudah menjelang dan saya pun meringkuk di depan colokan listrik lobi kampus, masalah jamak jika punya ponsel pintar dengan keterbatasan pada baterai. Datang Dhila pacar sahabat saya yang juga baru saja mengumpulkan revisian dan ngobrol seputaran skripsi dan yudisium. Tiba – tiba ada nada dering berbunyi dari laci meja, alarm dari ponsel yang sejak tadi tiba di lobi terlihat tergeletak begitu saja namun tidak saya hiraukan. Maklum saya kira ponsel dummy, yang ternyata bukan. Akhirnya saya ambil dan mematikan alarmnya, dan melihat sekitar hanya tinggal saya dan Dhila yang sudah mau berpamitan untuk urusan pekerjaan yang ia tinggal. Sedikit bingung mendera, akhirnya saya kirim pesan pada daftar pertama sms terakhir di ponsel putih yang tertinggal tersebut. Lanjut ke depan ruang dosen lagi yang terdapat beberapa orang sedang antri menunggu dosen, saya tanya satu – persatu tidak ada yang merasa kehilangan ponsel. Beruntung di situ ada Haryo teman saya yang sedang bertengger di depan pintu ruang dosen. Saya mengatakan kepadanya bahwa barusan tadi menemukan ponsel putih. Ia pun mengecek foto – foto di dalamnya ponsel tersebut yang dari tadi tidak berani saya buka file-nya. Beranjaklah saya sejenak masuk ke ruang dosen memeriksa siapa tau dosen yang saya tunggu sudah datang, ternyata belum. Saat saya keluar Haryo sudah lenyap, orang – orang yang tadi ngantri pun tidak ada yang tau. Lumayan membuat saya panik dan mengelilingi seperempat bangunan kampus untuk mencarinya. Tidak ada!

Akhirnya sedikit menuruti insting saya menuju ke kantin Panorama di samping bangunan kampus. Ya karena kegiatan kampus sudah libur, pastilah ada anak –  anak di sana untuk sekedar ngobrol sembari minum kopi dan mengepulkan kretek. Ternyata dugaan saya benar! Muka –  muka yang tidak asing muncul juga, sedang asik di sana sekumpulan pemuda termasuk Haryo. Saya pun menemui dia, dan mendapatkan jawaban bahwa ia tau siapa pemilik ponsel putih tersebut. Sedikit menyempatkan ngobrol ngalor – ngidul dengan para teman, saya lanjut beranjak untuk menemui seseorang yang beberapa menit lalu saya kirimi pesan.

Menujulah saya ke dekat pusat kota, di sebuah kampung yang pada tahun ’80-an terkenal dengan daerah hitam. Tapi itu dulu, sekarang teramat nyaman dengan jalan masuk kampungnya yang meliuk – liuk.

Beberapa hari yang lalu saya sudah janji dengan Pak Koes, pedagang yang saya kenal di pasar sore. Kadang ia membawa kaset yang ajaib! Nah, tujuan saya untuk berburu kaset kali ini. Sampailah saya di rumahnya yang bercat putih bersih, semi bangunan Belanda jika dilihat dari pintu dan jendelanya yang berbahan jati. Dia menyalami saya dengan erat dan berterimakasih atas anjangsananya. Saya pun dipersilahkan duduk dengan nyaman, ia lalu mengeluarkan beberapa kaset. Namun di meja sudah ada kaset Metallica … And Justice for All, saya pun memilih satu – persatu beberapa kaset yang ia keluarkan. Ternyata pesanan saya belum ia dapatkan, karena negosiasi dengan kolektor pemilik kaset masih alot. Oh ya, perkenalan saya dengan Pak Koes sebenarnya sangat tidak sengaja, pada waktu itu saya sedang berburu dan di lapaknya ada empat kaset. Ia pun lantas bertanya “Mas, cari kaset pita po?”, nah saya yang sedang milih – milih kaset yang salah satunya The Who pun lalu menoleh dan langsung menjawab “nggih Dhe!” dengan nada semangat. Tiba – tiba ia mengeluarkan tas plastik merah dan mengeluarkan beberapa kaset dengan kondisi sangat mulus. Dia pun menjelaskan bahwa ini pesanan orang tapi tidak diambil, harga satuannya pun lima ribu rupiah. Saya pun memilih satu kaset Motorhead live at Brixton lisensi Metalizer, sialnya pas mau saya coba pita kaset itu putus terbakar. Kecewa pun mendera dan kaset itu tidak saya ambil, lalu saya menginfokan ke pedagang kaset langganan saya, yang dengan sigap ia ambil semua koleksi Pak Koes untuk direparasi untuk lanjut dijual lagi. Kaset Motorhead itu akhirnya dibeli teman saya dengan harga yang berubah tinggi dengan drastis.

Nah dikarenakan tau saya kecewa Pak Koes memberi tau bahwa di rumah masih punya beberapa koleksi. Namun ya itu tadi, ternyata koleksi kaset – kaset ajaib yang ia dapatkan kemarin sisanya masih belum deal. Alhasil saya pun memilih- milih kaset yang tersisa di rumahnya. Dua jam saya mencoba dan memilih kaset dengan walkman dan akhirnya tiga kaset saya ambil. Kebanyakan kasetnya yang ia keluarkan masih bagus, namun kadang isinya beda atau sudah terekam siaran radio. Hidangan nikmat kopi instan dengan nyamikan roti coklat keju pun menemani saya dalam memilih – milih koleksinya. Kemudian kami bercerita banyak hal, dari mulai kisah kampungnya yang sekarang hijau nyaman tentram, anaknya yang telah sukses bekerja di Bandung, tentang ia berdagang dahulu di berbagai pasar Klithikan (dahulu sebutan bekennya “Pasar Maling”, atau disingkat “Sarling” namun sekarang orang menyebutnya dengan Kithikan. Ini merujuk saat pedagang barang loak belum direlokasi dan menempati Jl. Mangkubumi) dan banyak saling silang tentang kisah kami berdua.

Processed with VSCOcam with t1 preset

Pak Koes sedang menyervis saklar listrik

Petang pun menjelang, saya pun pamit undur diri. Pak Koes pun juga akan berangkat jualan di pasar sore, namun sebelum saya pamit ia pun menawarkan kaset lagi untuk saya bawa pulang. “Dah dik mau mbawa kaset apa?”, saya pun mengambil tiga kaset: Duran – Duran, Ost. Pretty Woman, dan Frank Sinatra yang harus sedikit diservis. Saya pun bertanya berapa harga untuk keenam kaset tersebut, ia pun hanya memberi harga lima belas ribu. Berarti ia hanya memberi harga kaset pilihan pertama saya, sisanya sebagai bonus. Saya pun sangat berterimakasih dengan keramah – tamahan, suguhan yang nikmat, dan percakapan yang hangat. Ia pun mengulurkan tangan kembali, jabat tangannya masih sama, erat dan hangat. Terimakasih Pak Koes!

Processed with VSCOcam

Kaset yang saya ambil

nb: Terkadang hasil berburu koleksian tidak seperti yang saya harapkan, semisal harus mendapatkan kaset yang langka, lisensi lokal atau impor, atau bahkan rilisan yang memiliki harga mahal di pasaran. Celah – celah dari semua itu yang membuat saya akhirnya mendengarkan berbagai rilisan yang saya tidak tau, atau yang tadinya tidak ingin saya ketahui. Tapi yang terpenting seperti kata Pak Koes tadi “Anjangsana”  serta mendapatkan kenalan, kehangatan, keramah – tamahan, dan berbagai kisah lainnya.